Satgas Banyak, Tambang Ilegal Lebih Banyak: Rio–Jami Diduga Leluasa Beli Timah Bebas Hambatan - LINTAS BABEL

Selasa, 02 Desember 2025

Satgas Banyak, Tambang Ilegal Lebih Banyak: Rio–Jami Diduga Leluasa Beli Timah Bebas Hambatan





Jebus, Bangka Barat,  — Penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) oleh PT Timah Tbk untuk para mitra dan pelaku usaha tambang seharusnya menjadi langkah pengawasan produksi yang lebih terstruktur. Namun, di lapangan, SPK ini justru diduga menjadi celah baru bagi sejumlah kolektor untuk bergerak membeli timah dari aktivitas tambang ilegal.

Padahal sebelumnya, sebagaimana dikutip dari mediapatriot.co.id, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menegaskan bahwa PT Timah Tbk sama sekali tidak diperbolehkan menampung atau membeli timah yang berasal dari penambangan ilegal, bahkan jika terjadi di atas konsesi perusahaan sendiri.

Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan bahwa kebijakan tersebut mutlak dan bersifat tegas:

“Jelas tidak boleh, dan tetap tidak boleh. PT Timah dilarang melakukan pembelian dari barang yang diperoleh hasil penambangan ilegal, termasuk dari lahan milik PT Timah sendiri. Karena itu milik negara, dan merupakan tindak pidana,” tegas Anang di Kejati Babel, Selasa (30/9/2025).



Namun ironisnya, di Kecamatan Jebus, masyarakat justru menduga ada praktik pembelian timah ilegal yang berlangsung terang-terangan oleh dua nama yang cukup dikenal: Jami dan Bos Rio, warga Sekar Biru. Keduanya disebut-sebut bebas beroperasi dan membeli timah dengan harga Rp190.000 – Rp200.000 per kilogram di Kawasan Hutan Lindung dan Bakau Desa Kampak, Sungai Buluh, hingga Kerang.

Di kawasan tersebut disebutkan terdapat sekitar 50 ponton yang beraktivitas secara ilegal, namun pembeliannya tetap berjalan lancar. Informasi lapangan menyebutkan bahwa aktivitas tersebut diduga beroperasi berdasarkan "perintah" atau “payung SPK” dari Bos Rio yang mengklaim sebagai mitra resmi PT Timah.

Pernyataan Kapuspenkum Kejagung sebenarnya sudah sangat jelas:
Mitra PT Timah sekalipun tidak boleh membeli timah hasil tambang ilegal, apalagi dari Hutan Lindung dan Hutan Bakau.

Jika benar penggunaan SPK dijadikan alasan untuk menampung hasil tambang ilegal di HL dan Bakau, maka hal tersebut berpotensi masuk kategori penyalahgunaan kewenangan dan dapat menyeret berbagai pihak ke ranah hukum.


Aktivitas ilegal yang berjalan mulus ini membuat publik mempertanyakan kinerja Satgas Halilintar, Nanggala, maupun Satgas PKH.
Sebab, kawasan operasi para kolektor tersebut merupakan zona terlarang, namun ponton bebas bekerja tanpa hambatan berarti.

Mengapa 50 ponton bisa beroperasi lama di HL dan Bakau?

Mengapa kolektor bisa masuk dan membeli timah secara terbuka?

Mengapa tidak ada tindakan tegas padahal lokasinya bukan kawasan sembunyi?

Apakah ada pembiaran?

Atau justru ada oknum yang diduga ikut andil?


Sebagai aparat yang memiliki mandat khusus, Satgas seharusnya menjadi garda terdepan memberantas PETI.

Karakteristik Tambang Ilegal dan Perdagangannya

Tanpa Izin Resmi: Beroperasi tanpa IUP, IPPKH, atau izin dari kementerian terkait.

Kerusakan Lingkungan Parah: HL dan bakau termasuk ekosistem yang dilindungi; kerusakannya berdampak luas.

Jaringan Pasar Gelap: Melibatkan kolektor, smelter ilegal, dan jalur distribusi gelap.

Risiko Hukum: Penambang, pembeli, dan penadah dapat dijerat pidana.

Kerugian Negara: Potensi kerugian mencapai triliunan rupiah setiap tahun.


Kasus di Jebus ini juga menyeret pertanyaan serius untuk PT Timah Tbk:

Apakah pengawasan terhadap mitra SPK berjalan efektif?

Bagaimana sistem kontrol perusahaan untuk memastikan SPK tidak disalahgunakan?

Mengapa dugaan pembelian timah dari kawasan ilegal masih marak terjadi?

Apakah PT Timah melakukan evaluasi terhadap mitra yang sering disebut-sebut terlibat?


Transparansi PT Timah menjadi krusial karena perusahaan ini memegang peran besar dalam tata kelola komoditas timah nasional.

Secara hukum, pembelian timah dari kawasan ilegal merupakan tindak pidana.
Tidak hanya penambang yang dapat dikenai sanksi, namun juga pembeli, penadah, dan pihak yang memfasilitasi.

Publik mendesak Kejaksaan, Kepolisian, dan Satgas untuk bertindak tegas, bukan hanya menyasar pekerja lapangan, namun juga pemain besar dan kolektor yang menjadi motor utamanya.
Comments


EmoticonEmoticon

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done